Potret Pendidikan Desa Ngajum

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang telah diatur dalam Undang-undang. Bahkan ada sebagian orang yang memilih meninggalkan nusantara untuk bersekolah di negara tetangga, baik melalui dana pribadi maupun mencari beasiswa dari pemerintah dan dari sumber-sumber lain.

 

Secara filosofis, Ki Hajar Dewantara menggambarkannya seperti, “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin terdapat dari pendidikan.” Tanpa pendidikan yang baik, mustahil tercapai masyarakat madani dan menjadi bangsa yang maju.

 

Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pendidikan di daerah terpencil. Jauh di pelosok nusantara, para penerus bangsa bahkan ada yang belum mengenal abjad. Bagi masyarakat pedalaman, pendidikan memang masih dipandang sebelah mata. Potret pendidikan di daerah terpencil memang masih terlihat suram. Fasilitas yang masih sangat kurang lengkap dan minimnya jumlah tenaga pengajar menjadi salah satu hambatan bagi berkembangnya pendidikan di daerah terpencil.

 

Namun, semua kekurangan dan fasilitas pendidikan tak menyurutkan niat anak bangsa untuk mengenyam bangku sekolah. Terbukti, banyak pelajar yang rela berjalan kaki puluhan kilo meter untuk menimba ilmu. Banyak pula yang mesti melewati sungai, hutan dan medan sulit lainnya untuk berangkat ke sekolah. Semoga, wajah pendidikan di negeri ini bisa bersinar layaknya mentari pagi. Bukan hanya bagi warga kota, tapi juga bagi para penerus bangsa di pelosok nusantara.

 

Nah kali ini para MEIR’S akan menguak lebih dalam tentang  pendidikan yang berada di desa terpencil, tepatnya di Desa Sumber Kunci, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang.

 

Malang disebut sebagai kota Pendidikan sejak zaman Hindia Belanda. Julukan ini muncul lantaran banyaknya jumlah kampus dan sekolah yang tersebar di wilayah Malang Raya. Banyaknya fasilitas pendidikan yang memadai dan suasana kota Malang yang tenang dan segar, sarana transportasinya memadai dan biaya hidup yang relatif terjangkau. Tak heran banyak pelajar dari daerah manapun tertarik mengenyam pendidikan di kota ini.

 

Namun, kondisi memprihatinkan terlihat di salah satu sekolah swasta Madrasah Ibtidiyah Nurul Ulum yang hanya memiliki fisik bangunan semi permanen. Mempunyai satu ruang belajar dalam sebuah garasi yang telah disewa oleh pihak kepala sekolah, dihuni oleh 17 murid yang terbagi menjadi empat kelas, serta terdapat empat tenaga pengajar. Kondisi ini dapat dikatakan sangat jauh dari kata layak.

 

Tanpa bantuan pemerintah, kepala sekolah dan para guru tetap tegar hingga kini. Para guru rela digaji 200 ribu/bulan bahkan sampai menunggak satu tahun. Bisa dibayangkan, seperti apa kondisi waktu belajar setiap hari. Di sisi lain guru pun seakan hanya berbekal idealisme mereka sebagai pengajar, tanpa imbalan yang memadai sebagai pemberi ilmu bagi masa depan anak bangsa.

 

Sebuah kata mengenai keikhlasan menyatakan bahwa,”Bagi orang yang ikhlas tak ada waktu untuk mengeluh, karena setiap kondisi datangnya dari Allah, dan seseorang itu akan menyikapi kondisi tersebut untuk Allah.”

 

Bukan hanya keterbatasan fasilitas, sarana dan prasarana yang menjadi kendala, akan tetapi juga tekanan dan tanggapan negatif masyarakat mengenai keberadaan sekolah tersebut. Warga melarang sekolah tersebut untuk terus menjalankan aktivitas belajar mengajar, hal itu karena adanya konflik mengenai tanah tempat berdirinya sekolah tersebut yang akan diambil alih oleh pihak yang mengaku sebagai ahli waris yang kemudian tanahnya harus dikembalikan ke madin, padahal dalam sertifikat tanah tertulis jelas bahwa Madrasah Ibtidiyah lah pemilik sah sebagai ahli waris atas tanah tersebut.

 

Berbagai perlakuan negatif dan membahayakan dilakukan oleh para warga terhadap pihak kepala sekolah, mulai dari tindakan sikap yang tidak menghargai, kekerasan, percobaan pembunuhan dan fitnah yang menimpa beliau beserta keluarga. Meski begitu, tidak menyurutkan semangat beliau dalam membangun sekolah tersebut agar lebih layak. Bahkan bukan hanya berkorban secara tenaga dan materialitas, beliau juga berkorban secara batin bahwa beliau tidak akan menikah sebelum sekolah tersebut dapat berdiri dan berkembang dengan layak.

 

Tidak hanya disitu, beliau juga melakukan gerilya pada malam hari untuk mencari dukungan dalam mempertahankan sekolah tersebut. Hingga pada akhirnya, terdapat sebagian warga yang mulai mengetahui dan menyadari akan hadirnya beliau dan menganggap bahwa hal tersebut merupakan sebuah ancaman yang harus segera disingkirkan. Para warga sepakat untuk membunuh beliau, akan tetapi Allah masih melindungi langkah dan niat sucinya, sehingga beliau masih dalam kondisi sehat hingga sekarang.

 

Ejekan serta hinaan yang datang bukan hanya berasal dari warga setempat tetapi juga dari sekolah-sekolah besar lainnya, mengenai jumlah murid dan kondisi sekolah tersebut yang sangat memprihatinkan.

 

Hingga lambat laun sekolah tersebut mengalami perkembangan, bukan hanya mampu untuk merubah perilaku siswa-siswi  tetapi juga sekaligus wali murid di sekolah tersebut. Warga yang dulu mempunyai kebiasaan buruk seperti, minum-minuman keras dan hal-hal negatif lain serta pola fikir dari anak didik sendiri yang cenderung memiliki cita-cita yang buruk ( menjadi pencuri ), kini telah berubah memperbaiki diri dalam meraih ketaatan kepada Allah.

 

Dengan semangat dan kekuatan beliau dalam mempertahankan sekolah Madrasah Ibtidayah, mampu menyentuh hati para pemuka agama di daerah tersebut serta gus Fiqih pengasuh pondok pesantren 1 An-Nur Putri .

 

Semangat perjuangan tersebut juga berasal dari para murid yang memiliki semangat belajar tinggi dan segudang prestasi mulai dari dapat menghafal surat-surat dalam Al-qur’an juz 30, doa sholat, sholawatan, mengimami sholat, Banjari, M.C acara, qiroah dan Tari Topeng  Malang.

 

Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah pusat untuk menyentuh permasalahan di wilayah terpencil. Dalam hal ini, pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) harus lebih memberikan perhatian secara khusus untuk memprioritaskan pemerataan mutu pendidikan di daerah-daerah terpencil. Semoga wajah pendidikan di negeri ini dapat bersinar layaknya mentari pagi. Bukan hanya bagi warga kota, tetapi juga bagi para penerus bangsa di pelosok nusantara.

 

“Saya meyakini bahwa hidup terus menguji peningkatan komitmen. Manfaat terbesar hidup diperuntukkan bagi mereka yang menunjukkan komitmen yang tiada akhir hingga mereka bertindak dan mencapai sesuatu. Salam Pendidikan. ”

 

Kategori : Jurnalizen Mahasiswa
Redaksi : Risna, Rony

Sumber : MEI Jurnalistik
Penerbit : Alfian Budi Primanto


Jangan Lewatkan Kabar Terbaru dari Kami!

Berita Terbaru