Pandemi COVID 19 Lahirkan Perilaku Pembelajaran Baru

Masa Pandemi COVID 19 memberikan tantangan baru bagi perguruan tinggi. Penting bagi manajemen pendidikan tinggi untuk menghadapi lompatan perubahan saat ini. Apalagi dengan situasi pendemi COVID 19, yang mau tidak mau merubah secara drastis semua tatanan kehidupan, terutama iklim pendidikan.

Sebagaimana yang disampaikan Prof. Dr. Hj. Nurhajati, SE, MS, salah satu guru besar Universitas Islam Malang. “Kita saat ini berada dalam kondisi Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity (Vuca). Yakni dinamika perubahan yang sangat cepat, hingga kurangnya prediktabilitas terhadap peristiwa. Dampaknya, muncul gangguan yang kemudian menimbulkan kebingungan,” buka profesor yang gemar membatik ini.

Guru besar Unisma ini membeberkan mengenai kepanjangan dari Vuca. Huruf V awal berarti Volatility, yakni berdampak pada ketakutan dan sikap menghindari risiko. Uncertainty dapat membuat upaya yang sia-sia pada pengumpulan dan analisis data dan kecenderungan berinvestasi secara berlebihan.

Sedangkan huruf C, imbuhnya, merupakan intial dari Complexity yang artinya dapat menyebabkan keinginan untuk mencari solusi hitam dan putih sering keliru, saling menyalahkan atau mencari kambing hitam. Ambiguity dapat menyebabkan keraguan, ketidakpercayaan dan keengganan; dapat menghambat pengambilan keputusan dan perubahan.

“Dalam dunia pendidikan tinggi, Volatility atau perubahan cepat tak terduga bisa diantisipasi dengan menerapkan visi atau Vision yang jelas,” ujarnya.

Menurutnya, apa yang hendak dicapai di masa depan ditetapkan hari ini. Pimpinan universitas, fakultas, dan program studi harus menetapkan apa yang ingin dicapai dalam waktu yang tidak terlalu panjang. Karena perubahan terjadi sangat cepat, misalnya satu sampai 3 tahun. Dosen harus menetapkan apa yang menjadi program pembelajaran bulanan, semester, dan tahunan.

“Kemudian dosen pun harus memastikan semua materi sudah on the track, kontekstual dan sinkron dengan tren terbaru,” papar beliau.

Dijelaskannya, kondisi uncertainty atau sulit terprediksi, dapat diantisipasi dengan pemahaman (understanding) yang baik akan apa yang menjadi penyebabnya. Hal ini umumnya berkaitan dengan karakter siswa.

Untuk itu, masih kata Nurhajati, dosen harus menjadi fasilitator yang lebih banyak mendengar, membaca dan melihat perspektif yang berbeda dari mahasiswa. Dosen harus mengenali gaya belajar di era milenial atau generasi Z karena mengenali mahasiswa secara utuh adalah keharusan untuk menentukan teknik pembelajaran yang tepat.

“Complexity (kerumitan) yang dialami dalam pendidikan tinggi dan mahasiswa dalam pembelajaran diatasi dengan kemauan para pimpinan institusi dan dosen untuk lebih banyak merespon, tidak reaktif, dan mengklarifikasi setiap permasalahan yang ada agar tercipta kejelasan (Clarity) dalam mengambil keputusan,” jelasnya.

Masih kata Nurhajati, Ambiguity atau kebingungan maupun kebimbangan dalam pembelajaran dapat diatasi dengan Agility atau kelincaha juga keluwesan) dosen melihat alternatif solusi yang ada. Kelincahan dosen dalam memberikan jalan keluar yang terbaik dari kebimbangan mahasiswa berkorelasi dengan kematangan seorang pendidik dan jam terbangnya yang hanya bisa didapat dari kemauan para Dosen untuk terus belajar.

Selain itu, menurutnya, pendidikan modular akan menjadi tren di masa depan. Pendidikan modular dengan mendapatkan gelar mini atau sertifikasi dalam topik tertentu menjadi penting. Tidak hanya bagi mahasiswa S1, pendidikan modular juga akan penting bagi pekerja untuk meningkatkan dan melatih kembali keterampilan mereka melalui pendidikan berbasis modul-modul kecil.

“Saya beri contoh, misalnya pekerja dapat memperoleh sertifikat dalam keamanan siber (cyber-security) tanpa harus menyelesaikan sebuah gelar dalam bidang sistem informasi. Pendidikan modular ini mahasiswa akan merdeka dalam mengatur pendidikan sesuai dengan keahlian khusus yang dibutuhkan untuk meningkatkan karir atau memilih jalur karir masa depannya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, perguruan tinggi ke depan perlu mempersiapkan pendidikan modular baik secara internal maupun dapat bekerjasama dengan organisasi profesi untuk memberikan sertifikasi profesi dalam bidang tertentu yang dibutuhkan oleh pengguna lulusan.

Sebelum menutup perbincangan, ia menegaskan bahwa pemikiran singkat tentang manajemen perubahan pada perguruan tinggi ini untuk merespon perubahan yang sedang terjadi sekaligus mengantisipasi perubahan yang akan datang.

“Perubahan sangat cepat dan kompleks sehingga sulit memprediksi perubahan. Namun dengan komitmen untuk menyesuaikan dengan perubahan, kesediaan untuk bekerja sama dalam tim, dan rasa memiliki institusi akan memungkinkan pendidikan tinggi akan terus berkembang dalam mewujudkan visinya,” pungkasnya.


Jangan Lewatkan Kabar Terbaru dari Kami!

Berita Terbaru